Sastra Jawa

Posting by : Ongki sang jagoan blog on Jumat, 12 Februari 2010

 

Dari semua sastra tradisional nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi Republik Indonesia, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.

Bahasa Jawa mula-mula ditulis dalam aksara turunan yaitu tulisan pallava yang bersal dari India Selatan. Aksara inilah yang menjadi cikal-bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang.

Lalu dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke 15 dan 16, huruf arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa, huruf ini disebut dengan huruf pegon. Kemudian dengan kedatangan orang-orang Eropa ke Jawa, huruf Rumi mulai digunakan untuk menulis bahasa Jawa.

Sejarah Sastra Jawa

Sejarah sastra Jawa dimulai dengan sebuah batu bersurat ( prasasti ) yang ditemukan di daerah Sukabumi, Pare, Kediri, Jawa Timur. Prasasti yang dikenali sebagai Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Kandungannya di tulis dalam bahasa Jawa kuna.

Setelah Prasasti Sukabumi, ditemui pula beberapa prasasti yang lain dan bertarikh 856 Masehi yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa kuno.

Sejarah sastra Jawa dibagi menjadi empat masa, yaitu :

  1. Sastra Jawa Kuno
  2. Sastra Jawa Pertengahan
  3. Sastra Jawa Baru
  4. Sastra Jawa Modern

Selain itu ada kategori khusus lagi, yaitu Sastra Jawa-Bali. Sastra ini berkembang dari Sastra Jawa Tengahan.

 

Sastra Jawa Kuno

Menurut rekod yang tertulis bermula sekitar abad ke 9 Masehi sampai abad ke 14 Masehi. Sastra Jawa kuno dalam bahasa Jawa yang tertua adalah Prasasti Sukabumi.

 

Sastra Jawa Tengahan

Muncul di kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke- 13 sampai sekitar abad ke- 16 Masehi. Setelah ini, Sastra Jawa Pertengahan di teruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya karya ini disebut kidung.

 

Daftar karya sastra jawa pertengahan yang berupa prosa :

  • Tantu Panggelaran
  • Calon arang
  • Tantri Kamandaka
  • Korawasrama
  • Pararton

Daftar karya sastra jawa pertengahan yang berupa puisi :

  • Kakawin Dewaruci
  • Kidung Sudamala
  • Kidung Subrata
  • Kidung Panji Angreni
  • Kidung Sri Tanjung

Sastra Jawa Baru

Sastra Jawa Baru muncul dengan kemasukan agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad 15 sampai 16 Masehi. Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka pada masa- masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Salah satunya yang terpenting adalah Suluk Sumiran.

Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan bahasa Jawa tengahan. Setelah sampai dengan tahun 1650 Masehi, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans sastra Jawa kuna. Kitab-kitab kuna yang bernafaskan agama Hindu- Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa baru.

Sebuah jenis karya yang khusus adalah karya sastra yang disebut babad. Karya ini menceritakan sejarah asal mula berdirinya suatu daerah atau tempat. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.

Sastra Modern

Satra Jawa modern adalah sastra jawa yang hari-hari ini biasa kita pelajari. Contohnya saja Geguritan. Geguritan merupakan puisi baru/ puisi jawa modern. Geguritan juga merupakan suatu karangan bebas yang tidak terikat syarat seperti tembang.

Ciri-ciri geguritan :

  1. Setiap baris tidak terikat jumlah kata
  2. Berbentuk bebas (tidak harus bait)
  3. Seumpama dibentuk bait, jumlah baris bebas (tak ada aturan)
  4. Setiap bait terdapat satu gagasan pokok
  5. Vokal dan jumlah suku kata bebas
  6. Menggunakan rima dan irama

Contoh geguritan

JAM

Karya : Dorothea Rosa Herliany

Ora mentala atiku

Nglirik jam kebuntel perban

Dleweran ludira

(arang kranjang tatu jaman)

Ora mentala atiku

Swara tiktaktiktuk

Keprungu,”Dhuh, biyung!”

Gawe getere kalbu

Dakluru ing ngendi

Dhangkane

tuk swaramu

{ 0 Coment... read them below or add one }

Posting Komentar