By : Efa - 2008
Hari-hariku terus berjalan, melewati waktu yang terus bergulir, seakan tak pernah berhenti. Kini aku melintasi waktu bersamaBoy. Meski aku dan Boy jarang bertemu pandang. Hanya di taman sudut kotalah kami dapat saling mencurahakan hati. Meski begitu aku bahagia kok Boy… Aku bahagia bisa jalan bersamamu. Bersama menikmati indahnya cinta dan bunga mawar yang selalu kau bawakan untukku…
“Hebat kamu Boy… Dapat duit berapa kamu kemarin?”.
“Iya Boy… padahal musuh kamu, si Andi itu hebat banget lho!”.
Aku mendengar percakapan dan kata-kata pujian dari teman-teman Boy, ketika aku melintas di depan ruang kelasnya. Ah Boy… ternyata kamu belum juga mau berubah. Apakah tak kau sadari, aku selalu mengkhawatirkanmu, setiap kali kau melintas cepat di jalan beraspal itu. Sampai kapan kau melakukan itu Boy? Aku tak kuasa untuk terus menanti kapan kamu akan berhenti. Boy… cepatlah berhenti!
*** Minggu 6 Juni 2007***
“Kemarin aku menang lagi, jadi aku bisa membeli buku-buku baru untuk tahun ajaran ini. Dan selebihnya akan ku tabung”. Kata Boy membuka kata pada pertemuan kami kali ini.
“Iya aku sudah tahu”. Sahutku dingin. “Boy… kapan kamu akan berubah?”. Boy menghela nafas panjang ketika aku melontarkan pertanyaan itu.
“Entahlah Ngie, aku sendiri juga tak tahu. Tapi aku janji suatu saat aku pasti berhenti!”.
“Iya Boy, tapi kapan?”.
“Sudahlah jangan di bahas lagi soal itu.Yang penting aku masih bisa bersamamu dan aku masih bisa membawakan bunga mawar untukmu.” Ujar Boy sambil mencolek ujung hidungku.
Tak pernah lupa, Boy selalu membawakan aku setangkai bunga mawar di setiap kali aku menemuinya di taman ini. Entah sudah berapa banyak bunga mawar yang dibawakannya. Karena aku sudah jalan bersamanya sejak setahun yang lalu. Di bangku bercat hijau itulah, aku dan Boy selalu mengahabiskan waktu Minggu sore, yang selalu meninggalkan kenangan indah untukku. Seindah cinta dan bunga mawar yang diberikannya padaku.
*** Minggu 8 Agustus 2007***
Seperti Minggu-minggu biasanya, aku selalu menanti Boy di bawah rindangnya pohon beringin di taman sudut kotaku. Waktu telah bergulir kedepan, dan tanpa kusadari kupu-kupu pun beranjak pergi. Namun Boy belum juga menampakkan diri. Ku coba menantinya dan terus menanti…
“Maafkan aku Ngie, aku membuatmu menunggu lama!”. Ucap Boy sambil memberikan setangkai bunga mawar yang dibawanya.
Kuterima bunga itu, namun aku heran ketika melihat wajahnya yang kusut dengan sebuah senyum yang terpaksa dia lebarkan.
“Kenapa kamu Boy?”.
Boy tak menjawab, meski aku telah bertanya beberapa kali, mungkin saja lukisan wajah itu nampak karena dia kalah dari permainan kemarin.
“Aku bingung Ngie, ibuku seharian mengomel.Dia kurang setuju aku terjun dalam pekerjaan ini!”. Ujarnya dengan mimik begitu sedih.
“Semua pasti kurang setuju, meski hasilnya juga untuk kebaikan keluargamu. Karena nyawa yang kamu pertaruhkan Boy!”.
Aku tak bisa meneruskan kata-kataku, karena kau tahu, kini persaannya sedang berkecamuk, akhirnya aku mengajaknya berbincang hal yang lain, agar dia sedikit melupakan senua beban beratnya itu. Hingga matahari mulai beranjak pulang ke peraduan. Aku mengajak Boy bergegas pulang. Meski aku tahu betapa berat langkah kakimu itu Boy…
“Wah hebat banget kamu Boy! Aku tak pernah menyangka, kamu bisa menang melawan Si Hendri, anak sombong itu”.
“Iya… biar tahu rasa dia, memangnya dia saja yang jagoan!. Mentang-mentang dia banyak duit”.
“Eh… ngomong-ngomong, Si Hendri kemarin “tumpah” di tikungan terakhir ya?”. Tanya Si Gendut.
“Hei Gendut, kamu ini kuper banget ya? Kemana saja kamu kemarin?”.
“Hu….hu…hu…”. Suara dalam kelas Boy menjadi riuh.
Tidak hanya satu atau dua kali itu saja, aku mendengar percakapan semacam itu, dari teman-teman Boy. Dan setiap aku mendengar ada yang “tumpah” darahku selalu berdesir. Berharap itu takkan terjadi pada Boy. Aku juga tahu, mungkin hal itu jugalah yang dikhawatirkan Ibumu Boy!. Sadarlah Boy… semua orang disekitarmu selalu mengkhawatirkanmu saat kau nekat turun di jalan beraspal itu.
Boy… kapan kamu akan menepati janjimu untuk berhenti? Aku tak bisa mengijinkanmu bertaruh nyawa di setiap lintasan itu, demi apapun…
*** Minggu 3 Oktober 2007 ***
“Hai Angie… aku kira kamu tak datang. Aku disini sudah agak lama lho!”. Boy menyapaku duluan ketika aku menghampirinya ditempat biasa, di sebuah bangku di taman sudut kota.
“Maaf Boy, pekerjaan dirumahku belum selesai, jadi aku tak bisa pergi sebelum semua beres”.
“Ya, aku tahu itu kok”. Boy tetap tersenyum menatapku.
“Boy, apa ibumu sudah baikan?”.
“Aku semalam tak pulag ke rumah Ngie!”. Aku tak melanjutkan pertanyaanku, bertambah bencinya aku dengan pekerjaan yang kau ambil ini Boy. Karena ini semua telah membentuk sebuah jarak antarakau dengan ibumu dan adik-adikmu, juga aku.
“Angie, kemarin aku menang lagi, kali ini aku ingin mengajakmu membali alat yang akan kita pakai untuk praktek besok”. Ujar Boy.
“Nggak usah Boy, aku bisa pakai punya kakak”. Jawabku cuek.
Sejenak aku dan Boy terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Pikiranku berkecamuk tak tetu, antara “Iya” atau “Tidak”. “Iya” berarti aku harus mengijinkan Boy untuk terus balapan. Tapi sampai kapan pun aku tak pernah bisa mengijinkan Boy untuk itu. “Tidak” berarti aku melarang dan memintanya lagi untuk berhenti. Tapi aku juga tak bisa untu melarangnya, Boy butuh biaya untuk sekolahnya dan keperluan sehri-harinya. Belum lagi kedua adik Boy yang masi kecil. Merka butuh biaya untuk sekolah, dan itu semua tidak sedikit…
“Maafkan aku Ngie, aku selalu membuatmu khawatir. Tpi aku janji kok Ngie, suatu saat aku pasti berhenti dan aku akan mencoba mencari pekerjaan lain untuk biaya sekolahku”. Boy mencoba menenangkan hatiku saat dia tahu, aku selalu gundah ketika bicara masalah balapan liarnya.
“Ya, tapi kapan? Sudah berapa kali kamu janji untuk berhenti! Aku tak mau terjadi sesuatu yang buruk pada dirimu”. Dengan suara tinggi kau menatap dalam wajahnya. Boy tak menjawab. Matanya menerawang memandang langit disisi barat yang mulai berubah warna jingga.
“Hari sudah sore Ngie, kita pulang saja yuk…!”. Boy berdiri dan menggandeng tanganku. Sambil menelusuri jalan setapak di taman kota.
Aku dan Boy terus berjalan menelusuri jalanan kotaku yang mulai gelap. Lampu-lampu di jalan mulai menyala, kendaraan yang lalu lalang juga mulai menyalakan lampunya. Pertand hari mulai berganti malam. Aku dan Boy berpisah setelah melewati tikungan jalan Fourteen. Karena memang rumah kami tak searah. Aku masih sempat melirik kearahnya, saat kami berpisah. Boy aku sayang kamu…
Kini hampir setahun sudah kita berjalan bersama. Begitu banyak cinta dan bunga mawar yang kau bawakan untukku. Aku tahu Boy, selama ini juga kau seperti hidup dalam dua sisi. Kau seperti hidup dalam dua dunia yang tak bisa kau tinggalkan. Antara aku dan lintasan balapmu yang telah memberikan kau penghidupan. Tapi kau sudah berjanji untuk meninggalkannya kan Boy?. Kau pun juga pasti tahu, kenapa aku begitu berat mengijinkanmu untuk bertaruh nyawa di lintasan beraspal itu.
“Untuk para siswa yang belum melunasi tanggungan sekolah, harap segera melunasi sebelum menghadapi ujian akhir”
“Hai Boy, kamu sudah membaca pengumuman di papan belum?”. Tanya Erick sambil menepuk pundak Boy yang sedang duduk di taman sekolah .
“Sudah, memangnya kenapa?”. Jawab Boy datar.
“Kamu butuh duit gak, untuk bayar sekolah besok? Aku tahu kok, kamu belum bayar uang sekolah kan?”. Erick terus bicara. Dia tak menghiraukan teman-teman yang berjalan lalu lalang disamping tempat duduknya.
“Maksud kamu apa Rick?”.
“Ah…kamu ini pura-pura tak tahu saja. Si Hendri tuch nantangin kamu lagi, kalau kamu menang, duitnya gede lho…”. Mendengar kata-kata Erick, Boy terdiam.
“Iya libas saja, tapi apa si Hendri punya duit?”. Si Gendut mulai ikutan bicara.
Boy mulai menoleh kearahku, yang sejak tadi aku duduk terdiam disampignya. Ku tahu, Boy meminta jawaban dariku. Sepatah kata pun tak terucap dari bibirku. Aku berdiri dan meninggalkan Boy. Sebelum dia meminta jawabanku dengan kata-kata.
“Sudahlah Boy, jangan pikirkan dia, cewek memang begitu”. Aku masih sempat mendengarkan kata-kata itu. Entahlah Boy aku tak bisa menjawabnya… Aku hany bisa berharap, kau bisa memberikan yang terbaik untuk kita berdua.
*** Minggu 22 Mei 2008 ***
“Minggu depan aku harus turun lagi Ngie”. Boy menggenggam tanganku ketika dia mengatakan itu. Aku terdiam menghela nafas panjang dan tak tahu harus menjawab apa. Lama aku dan Boy terdiam.
“Untuk bayar tanggungan sekolah? Apa tabunganmu sudah habis Boy?”. Akhirnya aku mulai bicara.
“Sudah habis Ngie, karena kedua adikku juga butuh biaya untuk sekolah, kamu kan tahu kalau ibuku hanya seorang janda penjual kue pasar. Jadi nggak mungkin cukup untuk semuanya”.
“Jadi kamu tetap turun dan ikut taruhan sama anak-anak?”.
“Iya Ngie, tapi selama ini aku belum pernah ikutan taruhan. Dari pada buat taruhan lebih baik kan buat kebutuhan yang lain. Aku Cuma joki bayaran, kalau aku menang aku dapat bayaran, tapi kalau pun aku kalah, aku juga masih dapat meskipun cuma sedikit”.
“Apa nggak bisa dengan cara lain?”.
Dia hanya bisa bilang, “Kalaupun bisa kenapa aku harus turun” katanya dia juga nggak mau selalu buat aku dan ibunya khawatir.
“Cuma itulah satu-satunya cara. Kalau aku menang, kurasa bayaranku cukup untuk menutup semua tanggunganku. Kalaupun kalah… ya, gimana lagi”. Boy mengakhiri kata-katanya sambil mengangkat bahu.
Aku hanya bisa terdiam dan tertunduk mendengar kata dan alasan Boy yang tak mungkin bisa aku sangkal. Sudah berapa kali dia berjanji padaku, tapi kapan janji itu akan dia tepati?
“Tolonglah Ngie, selama ini kamu tak pernah kasih aku izin. Untuk satu kali ini saja!”. Boy memandang wajahku penuh harap. Aku tetap diam, tak ada kata-kata yang terucap darikulagi. Aku masih diam dan akhirnya…
“Baiklah… tapi untuk satu kali ini saja. Dan aku minta kamu benar-benar berhenti dari pekerjaan itu, apa pun resikonya nanti.
Boy tersenyum gembira, mendengar semua kata-kataku yang berarti aku memberi izin untuknya. Entah perasaan apa yang berkecamuka dalam hatiku, saat aku mengizinkannya untuk bertaruh nyawa di lintasan balapan itu demi sekolahnya, demi kedua adiknya dan demi hidupnya. Entahlah… aku sendiri tak pernah tau.
“Ya… aku janji, biar semua kupu-kupu, bunga-bunga dan bangku singgasana kita ditaman ini menjadi saksi”. Sambil berkata itu Boy menyelipkan bunga mawar di rambutku.
Sebelum dia selesai menyelipkannya di rambutku, aku langsung menyambar bunga itu dari tangan kanannya.
“Alaaaah, gak usah sok romantis kamu. Aku tahu kok, kamu palinga gak bisa untuk itu”. Senyum Boy serta perasaan malu masih tampak jelas ketika aku berkata itu. Meski Boy berusaha untuk menutupinya.
“Ya sudah, aklau begitu kita pulang saja yuk! Kamu kan…”.
“Ya… aku memang PRT, PRT yang tak pernah di agji”. Aku langsung menyahut kata-kata guyonan Boy begitu saja.
Langit disisi barat memang sudah berubah warna jingga, saat aku dan Boy beranjak dari taman sudt kota itu. Kami melangkah pergi hendak pulang keperaduan masing-masing. Boy… aku harap merasakannya, betapa aku sangat menyayangimu…
*** Minggu 29 Mei 2008 ***
Aku menyusuri jalan di taman sudut kota itu yang selalu terasa indah untukku, taman sudut kita yang selalu menjadi taman istana cintaku dan Boy. Bersamamu… aku merasakan kebahagiaan yang sempurna Boy…
Di bangku di taman kota itu aku tak melihat Boy yang biasanya duduk menantiku. “Mungkin Boy belum datang”. Ucapku dalam hati. Karena biasanya memang aku dulu ayng lebih awal tiba di taman. Pandangan mataku tiba-tiba tertuju pada bunga mawar yang terletak diatas sebuah bangku berwarna hijau yang biasanya menjadi saksi pertemuanku dengan Boy. Aku merasa bunga itu dari Boy.Ternyata Boy sudah tiba lebih awal, tapi kemana kau Boy…?
Aku merasa bingung, aku juga baru sadar ketika aku memungut buna mawar dari bangku taman yang ternyata terselip secarik kertas kecil di ujung tangkai bunga itu.
“ maaf ngie, aku tak sempat menunggumu”.
Terbaca jelas tulisan itu olehku. Kenapa kau tak sempat menungguku Boy? Ada apa… Apa mungkin kau telah lebih dulu berangkat ke lintasan balapmu sebelum aku tiba? Aku rasa memang karena itu Boy, Hingga kau tak sempat menungguku.
Aku tak mengerti apa yang telah Boy lakukan. Mengapa dia tak sempat menungguku kala itu. Ternyata sesuatu hal telah terjadi…
*** Minggu 5 Juni 2008 ***
Kini aku sendiri, duduk di bangku taman sudut kota. Tak ada lagi bunga mawar yang selalu manemaniku menjalani hari-hari yang selalu tersa indah saat bersamamu. Bunga-bunga mawar yang kau tanam tak mungkin bisa lagi aku nikmati di taman ini. Taukah kamu Boy, bunga-bunga mawar yang kau tanam itu pasti bertanya dan berkata
“Aku sudah mekar dengan indah, kenapa Boy belum juga memetikku, kemana Boy pergi?”. Bunga-bunga mawar itu takkan pernah tahu jawaban pertanyaan mereka, karena mereka takkan pernah tahu apa tang telah terjadi pada dirimu, hingga mereka layu dan mengering. Lintasan beraspal itu telah merenggut cita, cinta, dan harapanku bersamamu
Tahukah kamu Boy, aku masih menyimpan bunga mawar terakhir darimu, meski kini bunga itu juga mulai layu dan mengering, seperti apa yang telah terjadi pada air mataku yang telah mengering, karena aku tak ingin kau pergi meninggalkan aku dan semua orang yang berada disampingmu serta menyayangimu.
Ternyata kau benar-benar tak sempat menungguku lagi.
Ternyata kau benar-benar menepati janjimu. Meski dengan cara yang sama sekali tak pernah kau dan aku ketahui.
*** SELESAI ***
{ 1 Coment... read them below or add one }
kisah manis mu yaaaaaaaaaaaaaaaa
Posting Komentar